Sejak
pertama menikah dengan ayah saya, ibu selalu punya satu cita-cita: Ia
ingin berangkat menunaikan ibadah haji bersama-sama dengan ayah.
Setelah menikah, setiap hari ia rawat mimpi itu dan sebisa mungkin menabung untuk membayar ongkos naik haji mereka berdua. Sayangnya, ayah saya hanya seorang pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan. Jangankan untuk membayar ONH, bahkan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari pun kadang-kadang harus berhutang.
Tahun demi tahun berlalu, ibu saya mulai berpikir realistis. Mimpi untuk berangkat haji ia tunda dulu. Fokusnya beralih pada anak-anak dan kehidupan keluarga yang bahagia—meski dengan penghasilan suaminya yang tak berlebih untuk bisa mencukupi semuanya. Namun, bagaimanapun, dalam hati kecil ibu, mimpi untuk berangkat menunaikan ibadah haji bersama ayah selalu ada… dan akan selalu ada.
***
Manusia bisa berusaha membuat rencana terbaik dalam hidupnya, tetapi milik Tuhanlah sebaik-baiknya rencana. Tahun 2000, ayah saya diminta institusi tempatnya bekerja untuk menjadi pembimbing ibadah haji. Sayangnya, ayah tak bisa membawa ibu. Ayah tak punya cukup uang untuk membayar satu lagi ongkos untuk memberangkatkan ibu ke tanah suci.
Untuk kepergian ayah, ibu saya mempersiapkan apapun keperluan ayah nanti sebagai pembimbing ibadah haji di tanah suci. Ia yang membelikan kain ihramnya, lalu melipatnya dan memasukkan ke koper. Ibu mempersiapkan semuanya mulai dari handuk, pakaian, buku catatan, buku panduan, alat tulis, dan apa saja yang akan diperlukan ayah untuk menyempurnakan ibadah hajinya.
Di hari keberangkatan, saya menyaksikan ibu dan ayah saling berpelukan. Ibu menangis sedih sekali ketika itu. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, saya menjadi anak laki-laki yang melihat ayahnya meneteskan air mata.
Ibu tampaknya tidak apa-apa dengan kepergian ayah. Ia tampaknya ikhlas dengan apa yang digariskan takdir untuk jalan hidupnya. Tetapi ternyata ibu menyelipkan sebuah surat di koper ayah.
***
Di Madinah, ayah menemukan surat itu. Kemudian membuka dan membacanya. Betapa hancur hati ayah membaca surat ibu yang menumpahkan segala perih, sakit hati dan kecewanya di sana. Ibu bilang, ayah pembohong! Dulu ayah berjanji hanya akan pergi ke tanah suci bersama ibu, tapi ternyata kini ayah meninggalkannya. Namun, bagaimanapun, ibu tetap mendoakannya, semoga ayah baik-baik saja di sana dan kembali pulang dengan selamat.
Dengan hati yang hancur, ayah saya menunaikan ibadah haji pertamanya dengan kesedihan luar biasa. Siang dan malam selama di tanah suci ia berdoa untuk ibu. Di Raudhah, di Hijir Ismail, di depan Ka’bah, atau di mana saja ayah selalu bedoa, sekaligus berjanji, suatu hari akan kembali ke sana bersama ibu.
***
Pulang dari perjalanan hajinya, ayah kembali menjadi pegawai biasa sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Gajinya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan sekolah anak-anak, tetapi jauh dari bisa membayar ongkos naik haji untuknya dan ibu.
Hampir setiap hari, atau setiap ada kesempatan, ayah selalu bilang pada ibu bahwa ia akan menepati janjinya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci. Ayah bekerja lebih giat, bangun lebih pagi dan tidur lebih larut dari biasanya. Ia mengerjakan banyak hal. Apapun yang ia bisa.
Suatu hari, ibu berkata pada ayah, “Jika ayah bisa memberangkatkan ibu ke Mekah,” kata ibu, “Ayah boleh menikah lagi. Ketika itu, ayah sudah menjadi suami yang adil dan memenuhi keinginan ibu. Ibu ikhlas.” Ayah hanya diam mendengarkan kalimat ibu. Ia tahu makna kalimat itu. Dengan kondisi saat ini, rasanya jauh sekali untuk bisa memenuhi impian ibu. Rasanya tidak mungkin ayah bisa menjadi suami yang berhasil memenuhi cita-cita istrinya.
***
Tetapi, sekali lagi, manusia bisa berusaha membuat rencana terbaik dalam hidupnya, namun milik Tuhanlah sebaik-baiknya rencana. Tahun 2003, ayah berhasil mengumpulkan uang dan bisa mendaftar haji bersama-sama dengan ibu. Di tahun itu juga, mereka berangkat untuk menunaikan ibadah haji yang diimpikan mereka sejak hari pertama pernikahan.
Dan rencana Tuhan belum selesai sampai di sana. Karir ayah terus membaik sepulang haji yang kedua. Beberapa tahun kemudian, karena ketekunan dan prestasinya, ia diangkat menjadi guru besar di tempatnya bekerja. Hidup dan karir ayah semakin baik setelah ia berhasil menjadi suami yang memenuhi cita-cita istrinya. Saat itu, ayah tak lagi punya hutang, semuanya berjalan baik dan membahagiakan, anak-anak mereka sudah dewasa dan memiliki kehidupan dan kebahagiaan masing-masing.
Hingga hari itu tiba, saat ayah menagih janji ibu.
“Dulu ibu pernah bilang,” kata ayah, “Jika ayah bisa memberangkatkan ibu naik haji, ibu memperbolehkan ayah menikah lagi.”
Bagai disambar petir, ibu terperangah mendengar kata-kata ayah. Tetapi ibu sadar ia pernah benar-benar mengatakannya. Air mata tiba-tiba menetes dari kedua ujung matanya, “Iya,” jawab ibu. Ia tak punya jawaban lainnya, “Ibu ingat.”
“Sekarang ayah sudah memenuhi permintaan ibu. Bahkan kita juga sempat menjalankan ibadah umrah setelah berangkat haji bersama-sama…”
“Ibu ikhlas,” ibu memotong kata-kata ayah. Air mata terus membasahi tebing pipinya. “Silakan…” katanya.
Tiba-tiba ayah tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arah ibu dan mendekapnya, “Ayah ingin ibu melupakan janji itu,” katanya, “Kita akan menganggap janji itu tak pernah ada dan ibu tak pernah berhutang apapun tentangnya.”
***
Ini sepenggal kisah ayah dan ibu saya. Kisah yang selalu diulang-ulang ibu untuk mendorong anak-anak laki-lakinya agar menjadi suami dan ayah yang baik. Seperti ayah mereka.
Terima kasih untuk Ayah dan Ii, karena selalu menjadi inspirasi, penyemangat, dan teladan untuk kami.
Melbourne, 14 Januari 2015
Setelah menikah, setiap hari ia rawat mimpi itu dan sebisa mungkin menabung untuk membayar ongkos naik haji mereka berdua. Sayangnya, ayah saya hanya seorang pegawai negeri sipil dengan gaji pas-pasan. Jangankan untuk membayar ONH, bahkan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari pun kadang-kadang harus berhutang.
Tahun demi tahun berlalu, ibu saya mulai berpikir realistis. Mimpi untuk berangkat haji ia tunda dulu. Fokusnya beralih pada anak-anak dan kehidupan keluarga yang bahagia—meski dengan penghasilan suaminya yang tak berlebih untuk bisa mencukupi semuanya. Namun, bagaimanapun, dalam hati kecil ibu, mimpi untuk berangkat menunaikan ibadah haji bersama ayah selalu ada… dan akan selalu ada.
***
Manusia bisa berusaha membuat rencana terbaik dalam hidupnya, tetapi milik Tuhanlah sebaik-baiknya rencana. Tahun 2000, ayah saya diminta institusi tempatnya bekerja untuk menjadi pembimbing ibadah haji. Sayangnya, ayah tak bisa membawa ibu. Ayah tak punya cukup uang untuk membayar satu lagi ongkos untuk memberangkatkan ibu ke tanah suci.
Untuk kepergian ayah, ibu saya mempersiapkan apapun keperluan ayah nanti sebagai pembimbing ibadah haji di tanah suci. Ia yang membelikan kain ihramnya, lalu melipatnya dan memasukkan ke koper. Ibu mempersiapkan semuanya mulai dari handuk, pakaian, buku catatan, buku panduan, alat tulis, dan apa saja yang akan diperlukan ayah untuk menyempurnakan ibadah hajinya.
Di hari keberangkatan, saya menyaksikan ibu dan ayah saling berpelukan. Ibu menangis sedih sekali ketika itu. Dan saat itu, untuk pertama kalinya, saya menjadi anak laki-laki yang melihat ayahnya meneteskan air mata.
Ibu tampaknya tidak apa-apa dengan kepergian ayah. Ia tampaknya ikhlas dengan apa yang digariskan takdir untuk jalan hidupnya. Tetapi ternyata ibu menyelipkan sebuah surat di koper ayah.
***
Di Madinah, ayah menemukan surat itu. Kemudian membuka dan membacanya. Betapa hancur hati ayah membaca surat ibu yang menumpahkan segala perih, sakit hati dan kecewanya di sana. Ibu bilang, ayah pembohong! Dulu ayah berjanji hanya akan pergi ke tanah suci bersama ibu, tapi ternyata kini ayah meninggalkannya. Namun, bagaimanapun, ibu tetap mendoakannya, semoga ayah baik-baik saja di sana dan kembali pulang dengan selamat.
Dengan hati yang hancur, ayah saya menunaikan ibadah haji pertamanya dengan kesedihan luar biasa. Siang dan malam selama di tanah suci ia berdoa untuk ibu. Di Raudhah, di Hijir Ismail, di depan Ka’bah, atau di mana saja ayah selalu bedoa, sekaligus berjanji, suatu hari akan kembali ke sana bersama ibu.
***
Pulang dari perjalanan hajinya, ayah kembali menjadi pegawai biasa sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Gajinya cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari dan sekolah anak-anak, tetapi jauh dari bisa membayar ongkos naik haji untuknya dan ibu.
Hampir setiap hari, atau setiap ada kesempatan, ayah selalu bilang pada ibu bahwa ia akan menepati janjinya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci. Ayah bekerja lebih giat, bangun lebih pagi dan tidur lebih larut dari biasanya. Ia mengerjakan banyak hal. Apapun yang ia bisa.
Suatu hari, ibu berkata pada ayah, “Jika ayah bisa memberangkatkan ibu ke Mekah,” kata ibu, “Ayah boleh menikah lagi. Ketika itu, ayah sudah menjadi suami yang adil dan memenuhi keinginan ibu. Ibu ikhlas.” Ayah hanya diam mendengarkan kalimat ibu. Ia tahu makna kalimat itu. Dengan kondisi saat ini, rasanya jauh sekali untuk bisa memenuhi impian ibu. Rasanya tidak mungkin ayah bisa menjadi suami yang berhasil memenuhi cita-cita istrinya.
***
Tetapi, sekali lagi, manusia bisa berusaha membuat rencana terbaik dalam hidupnya, namun milik Tuhanlah sebaik-baiknya rencana. Tahun 2003, ayah berhasil mengumpulkan uang dan bisa mendaftar haji bersama-sama dengan ibu. Di tahun itu juga, mereka berangkat untuk menunaikan ibadah haji yang diimpikan mereka sejak hari pertama pernikahan.
Dan rencana Tuhan belum selesai sampai di sana. Karir ayah terus membaik sepulang haji yang kedua. Beberapa tahun kemudian, karena ketekunan dan prestasinya, ia diangkat menjadi guru besar di tempatnya bekerja. Hidup dan karir ayah semakin baik setelah ia berhasil menjadi suami yang memenuhi cita-cita istrinya. Saat itu, ayah tak lagi punya hutang, semuanya berjalan baik dan membahagiakan, anak-anak mereka sudah dewasa dan memiliki kehidupan dan kebahagiaan masing-masing.
Hingga hari itu tiba, saat ayah menagih janji ibu.
“Dulu ibu pernah bilang,” kata ayah, “Jika ayah bisa memberangkatkan ibu naik haji, ibu memperbolehkan ayah menikah lagi.”
Bagai disambar petir, ibu terperangah mendengar kata-kata ayah. Tetapi ibu sadar ia pernah benar-benar mengatakannya. Air mata tiba-tiba menetes dari kedua ujung matanya, “Iya,” jawab ibu. Ia tak punya jawaban lainnya, “Ibu ingat.”
“Sekarang ayah sudah memenuhi permintaan ibu. Bahkan kita juga sempat menjalankan ibadah umrah setelah berangkat haji bersama-sama…”
“Ibu ikhlas,” ibu memotong kata-kata ayah. Air mata terus membasahi tebing pipinya. “Silakan…” katanya.
Tiba-tiba ayah tersenyum, lalu berjalan mendekat ke arah ibu dan mendekapnya, “Ayah ingin ibu melupakan janji itu,” katanya, “Kita akan menganggap janji itu tak pernah ada dan ibu tak pernah berhutang apapun tentangnya.”
***
Ini sepenggal kisah ayah dan ibu saya. Kisah yang selalu diulang-ulang ibu untuk mendorong anak-anak laki-lakinya agar menjadi suami dan ayah yang baik. Seperti ayah mereka.
Terima kasih untuk Ayah dan Ii, karena selalu menjadi inspirasi, penyemangat, dan teladan untuk kami.
Melbourne, 14 Januari 2015
No comments:
Post a Comment