JellyPages.com

Tuesday, June 4, 2013

Kisah Cinta dari Masjid Kampus

Oleh : Ayat Al Akrash (0719)
*Hudzaifah.org* - *Tahun 2040*
Seorang kakek-kakek duduk di sebuah sekret rohis kampus. Sekret itu
berukuran 3x3 meter. Kecil, tapi sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet
coklat. Ada lemari file, kaca besar di sampingnya. Buku-buku Islam
tersusun rapi di hadapan kakek itu duduk. Jendela terbuka lebar.
Terdengar kicauan dari burung yang ada di dalam sangkar.
Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya sudah memutih. Ia
termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah album foto.
Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia
memandangi album foto itu.
Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke sekret dan sebelum duduk di
sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan tangannya, mencium
tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan kanan. “Wa’alaikumsalam Wr
Wb,” jawab sang kakek. Untuk beberapa saat mereka saling terdiam. Kakek
itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut. Membuka-buka halamannya.
“Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak kan pernah bosan
melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian. Matanya terlihat sayu dan
memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak mengerti,
tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu,
sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.” Mahasiswa
itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan
ini, mereka semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah
foto dan tiba-tiba wajah kakek itu terlihat sumringah. “Tahukah kamu,…
untuk mewujudkan ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan
dari para senior-senior kami dahulu dan juga dari teman-teman kami
sendiri,” kakek itu menjelaskan. Mahasiswa itu kemudian bertanya “Bapak
sendiri yang mana?” “Saya…, yang ini… Bersama teman-teman saya dulu…,”
ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah foto ikhwan yang memakai ikat
kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di gunung.
Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju koko,
memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar. Begitu
melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.
“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju
biru.
“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto
beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.
“Wah, yang bener yah…,” seru seorang dari mereka. Mereka berebutan untuk
melihat album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto
para aktivis kampus angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat
kompak. Puluhan akhwat berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan
yang duduk berjongkok sambil memegang spanduk acara. Dan banyak lagi
foto-foto yang serupa. Meski sudah 46 tahun yang lalu, namun foto-foto
itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu menyimpannya…
Seorang mahasiswa memasuk sekret dan berkata, “Pak, acaranya sudah
dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat acara.
Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan
seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa.
Sepanjang jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan
dengannya. Meski kampus swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren
karena hampir semua mahasiswa dan mahasiswinya berjilbab dan
mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di sebuah
seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir
ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.
Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid.
Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata
pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu
membukanya dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya
aula besar yang berisi ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya
berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan masa lalu. Pandangannya nanar.
*(Ruangan itu berubah ke tahun 1996)*
Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.
Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja,
karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya.
Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.
“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya
dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang
rambutnya diikat ekor kuda.
“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya
Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”
Bram bersama tiga temannya berjalan bersama menuju sekret. Di sepanjang
jalan menuju kampus, para mahasiswa laki-laki dan perempuan terlihat
bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan mahasiswanya memakai
anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor kampus.
Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah universitas
swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo matang,
postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae Kwon Do.
Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang. Sehingga tampak
sekali keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas, membuatnya
disegani, sehingga ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa periode itu.
*Krisis Regenerasi dan Optimisme Bram*

kisah-cinta-dari-masjid-kampus
kisah cinta dari masjid kampus

Suatu hari, Bang Didit dan Bram membuat janji untuk bertemu di sekret
pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian sekret, Didit yang notabene adalah
DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94, berkata kepada Bram. “Dek,
kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang sedikit pesimis.” Bram
tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua dari organisasi rohis
yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena mereka masih
belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa berkorbannya
untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk
hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti
bisa berubah, pasti bisa….
“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang Didit, ingin menekankan
bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam organisasi
rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Iya…, memang
kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di
daerah. Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat
islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang
sampai-sampai para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya,
Bram memegang teguh janji Allah, /intanshurullah yan shurkum wa
yutsabbit aqdamakum./ Ayat itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap
optimis berada di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu?
Teman-teman pasti bisa berubah….
*Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)*
Saat tengah duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang
mahasiswa yang tampaknya seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan
instingnya seakan memperkuat hal itu. “Assalaamu’alaikum,” kata Bram.
“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.
“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak Bram to the point.
“Saya…… JT,” jawabnya mantap.
“O…. Maaf ya, Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera
ngeloyor pergi kembali ke sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah,
pemuda itu memanggilnya. “Eh.., akhi… tunggu, maksud saya … JT itu
Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum ramah.
“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.
Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS juga
di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre untuk
berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus yang
memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang,
rambutnya ikal dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan.
Andre mengangguk, “Maka marilah kita berjanji setia untuk berjuang di
jalan-Nya,” ujar Andre menyambut ajakan Bram. Bram tersenyum. Dan mereka
berjanji setia untuk senantiasa di jalan Allah. Sejak itu mereka
senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta diantara mereka sangatlah kuat.
*Zaid, Sang Jurnalis*
zaid-sang-jurnalis
zaid sang jurnalis

Usai shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan,
mengambil mic dan memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan
basmalah dan membacakan firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan
semangat yang membara, kata-kata yang lugas dan tegas, lidah yang
lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang merindukan lahirnya
kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di persimpangan jalan.
Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah menggoreskan
catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap
muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan
peraih kebahagiaan di kampung akhirat… “ Para jamaah yang semula hendak
bubar, demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan
segera menoleh ke arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya
dikarenakan gaya bicara Bram yang sangat menarik.
Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi
sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan
kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan
merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi
seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah tangga kaum
muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita
akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di
dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan meniti
langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir perjalanan.
Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah bagi kita, bukan yang
kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki kecuali
menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,”
seru Bram. “ Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan
agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak
pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham
akan ruh ajarannya. Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah, dan
tanah air, …..”
Andre memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang terlihat
sangat antusias dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang pemuda.
Setelah mengucapkan salam, mereka berkenalan. “Saya Andre.” Pemuda itu
membalas senyum Andre dan berkata,
“Saya Zaid.”
“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi.
“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.
“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.
“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran
saya,” jawab Zaid.
Andre mengerutkan keningnya.
“Anda jurnalis?”
“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”
Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah
note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata,
“Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”
“Mengaji?”
“Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan
mahasiswa itu.”
“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.
*Mahasiswa Baru*
Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97 digelar di kampus
tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat pita
tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat
ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah
bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat
untuk shalat Zuhur.
Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di lapangan
dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang kata-kata kotor
keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah mahasiswa tapi
intelektualitsnya justru minus, pikirnya.
Semua mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus. “Siapa yang tidak
bawa atribut lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau
tidak, terima sendiri akibatnya!” seru sang senior berjaket almamater
biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior maju ke depan. Bram berjaket
almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk berjaga-jaga dari
hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang
mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu….
Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…? Bram terdiam dan
pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.
Saat itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….
“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita akhiri sampai di
sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain adalah
kekasihnya, “Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik
saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki
yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi.
“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah
memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”
Sita dan Bram duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling
terdiam beberapa saat dan memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah
mulai sepi. Langit berwarna merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang
sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar lagi berkumandang. “Apa yang membuat
abang berubah? Padahal dua hari lalu, abang katakan bahwa kita akan
selalu bersama, apakah engkau sudah melupakan kata-kata abang sendiri…,”
Suara Sita terdengar parau.
Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita.
Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu
itu… Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia
harus bisa karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan
dan rahmat Allah. Ia tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar
biasa bila berdekatan dengan Sita, seakan dosa yang terus menggunung
tinggi.
Azan Maghrib berkumandang. Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan
berkata, “Sudah azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram.
Sita memandang Bram dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya
dalam hati.. sejak kapan Bram shalat? Bukankah ia sendiri yang sering
mengatakan tak suka dengan anak-anak rohis…… “Abang saja yang shalat,
Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram dan Sita saling berpandangan,
lama sekali. Seakan banyak isi hati yang terucapkan lewat tatapan mata
mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang dari masjid sekolah.
Bram menundukkan pandangannya, dan berkata, “Saya shalat…” Ia membawa
tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk dan air mata
mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.
Usai shalat Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia
tahu, pasti Sita saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui Sita
lagi dan menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ‘”Aku di
sini untukmu.” Kata –kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita
bersedih. Tetapi kini.. apakah ia harus menemuinya dan mengatakannya
lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku harus berubah! Harus!. Ya
Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram memanjatkan doa dengan
hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air mata. Ikatan yang
sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan. Biarlah…
biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di
akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya
pacaran. Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….
Bram menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam
/Selamat tinggal wahai dunia duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna/
**
“Assalaamu’alaikum, Bram… Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman
rohisnya, Andre. Kehadiran Andre membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh..
Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi nanti yang mahasiswanya wudhu
di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre mengangguk dan meninggalkan
Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar dan segera kembali
mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan lain-lain. Bram
bergumam, /intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum/
Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya
bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang
shalat. Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah
duduk. Bram menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru
berambut plontos itu menjawab salam sambil tersenyum ramah. “Sudah
shalat?” tanya Bram padanya. “Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum
selesai,” jawabnya sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh
dengan mahasiswa yang ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti
kapan-kapan kamu main ke sekret rohis aja.” “Ke sekret? Ngapain Bang,”
tanya Andi heran. “Ya maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram
kembali mengajak. Dan kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan
mengunjungi sekret rohis. Andi berpamitan setelah temannya usai shalat.
Mereka berlari menuju kelas.
*Bram Bersama Teman-Teman*
Selama kepengurusannya, Bram melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia
memprioritaskan da’wah di atas segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia
persembahkan untuk meninggikan kalimatullah. Bram, Andre dan Zaid
bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun kepada
teman-teman mereka sendiri.
Bram mencarikan ustadz agar mereka dapat mengkaji Islam bersama. Ini
akan menjadi menthoring pertama dalam organisasi ini. Sejak itu, mereka
bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama seorang ustadz.
Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang bersebelahan. Mereka
dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman Da’wah Fardiyah.
Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya terekrutlah
beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan
barisan da’wah.
*Perpustakaan Masjid*

Perpustakaan-Masjid
Perpustakaan Masjid


Bram memasuki masjid dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak
terawat. “Buku-buku adalah sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre
untuk mendata buku-buku tersebut. Jumlah buku Islam itu ada 500 buku.
Mereka berdua mencatat nama buku, pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu
membuat nomor-nomor buku, kemudian menempelkannya di setiap buku. Selama
sebulan lebih Bram dan Andre melakukan itu. Bram bersyukur karena ada
Andre yang bersedia membantunya. “Kapan nih selesai bukunya, kok ngga’
selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat memasuki sekret. Ia
hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya. “Makanya,
bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal. Karena
Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi buku-buku
itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu. Bram
hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara,
tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau
mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.
Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre
meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu
perpustakaan, sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat
beredarlah fikrah kita.
*Pengorbanan*
Pengorbanan-Zaid
Pengorbanan Zaid

Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi kemudian memberikan selamat
kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras tersipu-sipu, dan
dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus, jalan
yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji
untuk senantiasa di jalan ini…
Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Di sekret
akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi, sampai-sampai
suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk
jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para
akhwat dan mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre
hanya geleng-geleng kepala.
Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain bola di
dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram
memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru
bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.
Di dalam sekret itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang
mendapat giliran. Laras membuat jadwal di akhwat, dan Andre membuat
jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga menjad agenda mingguan.
Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun di lingkungan sekret.
Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang berantakan.
Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret bagi
Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana
mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam
Bram. Untuk saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk
melakukan tugas ini, karena banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal
ini. Ia menyapu lantai, merapihkan buku-buku, membuang sampah-sampah,
dan memasang mading ataupun menempel tausiah-tausiah di sekret.
*Menghadapi Kristenisasi*
Sita bergabung dengan rohis kampus. Namun Sita yang sekarang, bukanlah
Sita yang dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi dan ia sudah
membuang jauh-jauh kenangannya bersama Bram. ‘Ya Allah, aku ada di sini
karena Engkau. Semoga Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa
Sita di setiap shalat malamnya.
“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau keluar dari Islam,” kata
Anita, teman sekelas Sita, suatu hari. “Hah? yang bener?” seru Sita.
Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di SMU-nya. “Iya,
tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar Anita yang celana
jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu dengan mimik
serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya mengangguk-angguk.
Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung mendengar itu.
Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU ia
pernah menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya
murtad karena diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali
buku kristologinya. Ia membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa
yang harus ia sampaikan kepada seseorang yang mau murtad. Ia mencatat
semuanya dalam selembar kertas dan esok paginya, ia sudah siap dengan
argumennya.
Namun Sita tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan hal
itu kepada orang yang ia percaya, yang notabene pasti tak mengenal
Anita. Hal ini terdengar di telinga Bram, ketua rohis, bahwa ada
kristenisasi di kampus.
Saat rapat rohis, Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas, bahwa
di kampus kita terjadi kristenisasi.” Sita tertunduk dalam mendengarnya.
“Sebaiknya hal seperti ini tidak disembunyikan, karena bila sampai
terjadi pemurtadan, dapat mencoreng wajah da’wah kita di kampus ini,”
tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu ikhwah yang sebenarnya
mengetahui hal ini. Sitapun akhirnya angkat bicara, “Ya, sebaiknya kita
mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena kabarnya, dia
mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…” Hm.., Bram
akhirnya tahu siapa orangnya.
“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab Bram.
Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut tidak
murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi
detektif. Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang
berkudung gaul tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala
ia menoleh. Sesekali para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi
itu berhasil diidentifikasikan, akhirnya Sita menjadi duta untuk
melakukan dialog dengannya.
Bram terus memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari Anita,
Sita mengetahui bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya untuk
berpindah agama akibat bujukan pemuda Kristen tersebut, karena agama
adalah yang paling utama. Allahu Akbar! Misi detektif akhwat selesai.
*Riska, Namanya*
Pagi hari. Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya
dosen Pengantar Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di
baris kedua. Ia membuka buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran
buku merah tersebut. Ia tak memperhatikan bahwa sedari tadi ada
mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram menoleh ke arah kanannya dan
melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju jungkis dan berambut
keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan senyumnya. Mahasiswi
itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya mahasiswi itu. “Iya,
saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri. “Riska, “katanya balas
memperkenalkan diri. “Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa
ngga’ ya?” ujar Riska. “O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret
rohis,” jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram
dan Riska. Kuliah berlangsung selama 2 jam.
Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk berkunjung ke sekret rohis. Bram
memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat rohis. Di dalam sekret,
Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang isinya begitu banyak
buku-buku Islam.
“Sejak kapan kamu pakai jilbab?” tanya Riska pada Sita.
“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”
“Wah, baru pakai ya?”
“Iya”
“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?” tanya Riska lagi.
“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan berusaha, akhirnya orang
tua mengizinkan,” jawab Sita.
Riska mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak
hal, mulai dari keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa
wawasan Islam Sita sangat baik.
*Pers Kampus*
Zaid, semenjak bergabung dengan rohis, ia menggunakan kemampuan
menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya menghiasi media
cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang universal, yang
dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al Haq
dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis
dan memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti,
terciptalah opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.
Tidak hanya itu, kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan
junior-juniornya. Misinya dalam jangka panjang adalah membentuk pers
kampus. Bram pun turut men-support keberadaan pers Islam ini. Hingga
terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi Jurnalis. Yang bertugas
mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini publik.
Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman
Sekret ikhwan dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid
kampus itu. Para aktivis ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow
up dari penyambutan mahasiswa baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8
orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi, Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak
jarang mereka harus pulang malam untuk melakukan rapat-rapat. Bahkan
kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama adalah da’wah. Namun
meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam kuliahnya,
dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati harus
ber-IPK minimal 3!”
Bram selalu menjadi motor setiap event-event keislaman di kampus. Ia senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap berusaha dan berjuang ..

No comments: