Artikel ini diambil dari http://antiliberalnews.com
Bagaimana cara menyikapi para muslimah yang belum sempurna menutup auratnya?
1. Bijak Menyikapi Kekurangan Orang Lain
Bagaimana mengajak saudara, teman, dan para muslimah di sekitar kita
berjilbab? Atau setidaknya, bagaimana cara menyikapi para muslimah yang
belum sempurna menutup auratnya? Sebelum menjawab semua itu, kita
mencoba mengupayakan bagaimana kiat untuk bijak menyikapi kekurangan
orang lain.
Pertama, Bersyukur kepada Allah SWT, jika kita tak memiliki
kekurangan yang serupa dengan orang yang kita saksikan kekurangannya.
Sesungguhnya, kita terhindar dari kekurangan itu pun pada hakekatnya
adalah karunia-Nya.
Kedua, Berlindung kepada Allah SWT dari memiliki kekurangan yang
serupa. Jika bukan karena perlindungan Allah, belum tentu kita terhindar
dari keadaan semacam itu.
Ketiga, Doakan orang yang memiliki kekurangan agar berubah menjadi
lebih baik. Doakan pula orang yang berbuat salah agar dibimbing Allah
bertaubat dan memperbaiki diri.
Keempat, Sampaikan dakwah kepadanya. Informasikan manfaat setiap amal
yang kita perbuat. Informasikan kerugian dan dampak buruk yang dialami
oleh diri kita sendiri, juga oleh orang di sekitar kita akibat dari apa
yang kita perbuat. Bisa jadi seseorang berbuat salah, karena belum
mengetahui hal itu salah atau belum tahu akibat buruk perbuatannya.
Kiat diatas dapat digunakan bila melihat para muslimah yang cara
berpakaiannya atau cara berhijabnya masih belum sempurna, misalnya;
Pertama, jika kita telah sempurna menutup aurat, maka bersyukurlah
kepada Allah. Jangan sampai kita menjadi ujub (bangga diri) dan sombong
(merasa diri lebih baik atau lebih shalehah). Sesungguhnya, kita bisa
menutup aurat dengan baik karena rahmat dan karunia Allah. Jika Allah
tidak membimbing, belum tentu kita berbuat lebih baik.
Kedua, Senantiasa berlindung kepada Allah dari cara berpakaian yang
tak disukai-Nya. Ini kisah nyata, saya pernah melihat seorang muslimah
yang pakaiannya sangat terjaga, kemudia ia memperbincangkan sekelompok
muslimah yang pakaiannya belum sempurna. Sayangnya, tak berapa lama, ia
pun berpakain seperti para muslimah yang ia perbincangkan. Artinya, bila
tidak berlindung kepada Allah, bisa saja suatu saat kita enggan
menyempurnakan penutup aurat kita. Naudzubillahi mindzalik.
Ketiga, Doakan saudara kita yang belum sempurna cara menutup auratnya
agar segera menyempurnakannya. Jangan sampai kita menyebarkan aib dan
ghibah, karena semua itu tidak membuat menjadi bertaubat atau menjadi
lebih baik. Bahkan perbuatan itu hanya menambah dosa bagi kita.
Keempat, Informasikan terhadap para muslimah yang belum menutup aurat
dengan sempurna tentang manfaat memakai jilbab dengan benar. Dalam
menginformasikan, kita bisa menggunakan kiat-kiat yang pernah
disampaikan Aa Gym, seperti kita untuk sebuah perubahan dengan 3 M nya
(Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, Mulai saat ini
juga), serta kiat berdakwah dengan menggunakan formula 3 A (Aku bukan
ancaman bagimu, Aku menyenangkan bagimu, dan Aku bermanfaat bagimu).
“Jangan tergesa-gesa menyalahkan mereka, ini justru hutang kita
kepada mereka. Bisa jadi, hal ini justru kesalahan kita akibat kelalaian
kita dalam beramar ma’ruf.”
2. Menyampaikan Ilmu
Orang-orang yang lahir di lingkungan baik, tentu tata nilainya tidak
sama dengan orang-orang yang lahir di lingkungan yang kurang baik.
Begitu pula para muslimah lahir di lingkungan kurang kondusif, mungkin
tak pernah merasa malu dan bersalah jika auratnya tak tertutup sempurna,
karena sejak kecil tidak terbiasa melihat para wanita di lingkungan
keluarganya menutup aurat dengan baik.
Berbeda dengan wanita yang lahir di lingkungan moralis, misalnya di
lingkungan para pendidik, pesantren, atau di lingkungan orang-orang
saleh , maka ia akan merasa malu, terhina dan merasa bersalah jika
auratnya tak terjaga.
Upaya amar ma’ruf nahyi munkar harus dimulai dengan penyampaian ilmu.
Paksaan untuk melakukan kebaikan boleh dilakukan jika ilmu telah
disampaikan dengan upaya maksimal.
Ambil contoh, suatu saat pernah ada seorang mualaf yang ingin masuk
islam, tapi tidak mau melaksanakan shalat, kemudian Rasul SAW
membiarkannya masuk Islam dan tidak memaksanya melaksanakan shalat.
Setelah ia memahaminya, seiring bertambahnya ilmu dan pengalaman yang
dilaluinya, akhirnya ia mau mengerjakan shalat.
Jika tidak, maka kita bagai memaksa orang yang tidak bisa berenang
untuk mencapai tempat tujuan dengan berenang. Bagaimana mungkin ia bisa
sampai di tujuan, bila tidak bisa berenang. Langkah awal yang harus
dilakukan adalah mengajarinya berenang agar tahu bagaimana cara
mengambang, bergerak, dan berjalan di permukaan air, kemudian ia harus
gigih berlatih secara sistematis dan berkesinambungan.
Jika ia sudah pandai berenang, tapi tidak mau menjalankan tugas dan
kewajibannya untuk mencapai tujuan itu, barulah dia boleh dipaksa.Kalau
kita masih menyaksikan banyak para muslimah yang belum sempurna menutup
auratnya, pertanyaannya adalah sejauh mana kita telah mensosialisasikan
dan membuat mereka paham tentang bagaimana cara berpakaian yang paling
disukai Allah.
Oleh karena itu, jangan tergesa-gesa menyalahkan mereka, ini justru
hutang kita kepada mereka. Bisa jadi, hal ini justru kesalahan kita
akibat kelalaian kita dalam beramar ma’ruf, hingga hak mereka untuk
mendapatkan ilmu tertahan oleh kemalasan dan keenganan kita berdakwah.
Selain itu, setiap orang juga harus melakukan instropeksi diri,
”Seberapa banyak ilmu yang sudah saya dapatkan, hingga sejauh mana saya
harus mengamalkan ilmu yang telah saya dapatkan itu?” atau, “Apakah
karena ilmu saya memang masih sangat sedikit, hingga belum mau
menggunakan penutup aurat yang sempurna?” Jika demikian, maka carilah
ilmu sebanyak-banyaknya untuk mengetahui dan memahami tentang bagaimana
cara berpakaian yang paling disukai Allah.
Bagaimana seharusnya para muslimah menutup auratnya? Setidaknya
sebagai berikut. Pertama, tertutup seluruh tubuh kecuali wajah dan
telapak tangan (untuk menutupi permukaan yang termasuk aurat). Kedua,
tidak transparan (untuk menghilangkan penampakannya). Ketiga, tebal,
artinya tidak tipis (untuk menghilangkan bentuk aurat). Keempat, warna
tidak terlalu mencolok atau terlalu banyak hiasan (agar tidak terlalu
menarik perhatian lelaki yang bukan mahram). Kelima, hindari wewangian
yang terlalu semerbak.
Semoga Allah Yang Mahaagung mengaruniakan rasa syukur pada diri kita dan melindungi kita dari berpakaian yang tak disukai-Nya.
“Menyampaikan ilmu atau menganjurkan kebaikan kepada orang lain itu ibarat mengepel lantai sebuah ruangan.”
3. Awali dari diri
Dalam sebuah diskusi, seorang peserta yang belum berjilbab
mengungkapkan isi hatinya sebagai berikut. Ia memiliki seorang teman
yang sudah berjilbab dan sering mengajaknya mengenakan jilbab. Tapi,
muslimah yang sudah berjilbab ini akhlaknya kurang baik, dia masih
kurang menjaga hijab dengan lawan jenisnya, bahkan dia masih suka
berpacaran dan seringkali menunjukkan sikap yang kurang baik.
Akhirnya, ia memilih untuk tidak berjilbab asalkan bisa menjaga
dirinya, dari pada berjilbab tapi akhlaknya masih buruk. Bahkan,
seringkali dia antipati melihat wanita berjilbab yang belum dikenalnya.
Artinya, setiap kali kita akan berdakwah, bertanyalah pada diri, “Apa
yang akan saya sampaikan sudah sesuai atau belum dengan apa yang saya
lakukan?” atau setidaknya, “Apakah saya sudah berupaya secara maksimal
untuk mengamalkan apa yang akan saya sampaikan?” atau, “Apakah perbuatan
dan akhlak saya sudah mendukung apa yang akan saya sampaikan?”
Menyampaikan ilmu atau menganjurkan kebaikan kepada orang lain itu
ibarat mengepel lantai sebuah ruangan. Diri kita itu ibarat lap pel,
sedangkan yang orang lain itu ibarat lantai. Lap pel harus bersih, jika
tidak, maka ruangan itu akan bertambah kotor. Bayangkan, bila kita
mengepel lantai kamar kita dengan lap pel bekas mencuci kotoran.
Hasilnya, bukan membersihkan kamar, tapi malah mengotorinya
Begitupula halnya dengan kasus diatas. Karena muslimah berjilbab yang
mengajaknya itu belum sanggup memberikan contoh yang nyata buat
temannya, maka akhirnya temannya itu bukannya segera ingin berjilbab,
tapi malah mendapatkan citra yang tidak tepat tentang wanita berjilbab.
Akhirnya, dakwahnya bukannya membuat temannya menjadi berubah menjadi
lebih baik, tetapi malah membuatnya makin jauh dari pemahamannya tentang
islam, bahkan mungkin makin jauh dari Allah. Karenanya, awalilah dari
diri sendiri.Sering juga timbul pertanyaan, “Mana yang lebih baik,
wanita yang berjilbab tapi akhlaknya buruk atau wanita yang belum
berjilbab tapi akhlaknya lebih terjaga”.
Kita jadi teringat kisah Buya Hamka ketika beliau ditanya seseorang,
“Buya, saya memiliki tetangga, yang satu seorang insinyur yang tidak
suka shalat tetapi akhlaknya baik. Yang satunya lagi seorang haji yang
suka shalat, tetapi akhlaknya buruk. Mana yang lebih baik diantara
mereka?”
Beliau menjawab, “Insinyur itu, belum suka shalat saja akhlaknya
sudah baik, apalagi kalau beliau rajin shalat. Sedangkan Pak Haji itu,
syukur beliau suka shalat. Kalau tidak suka shalat, mungkin akhlak
beliau lebih buruk dari itu.”
Kisah ini bisa kita analogikan untuk pertanyaan diatas. Akhwat yang
belum berjilab itu, belum berjilbab saja akhlaknya sudah baik, apalagi
kalau dia sudah bejilbab. Akhwat yang sudah berjilbab itu, syukur dia
sudah berjilbab. Jika tidak, sudah akhlaknya kurang baik, tidak
berjilbab juga.
Konon, disekitar Masjidil haram ada para wanita amoral yang bercadar.
Tentu, tidak logis sama sekali jika kita langsung antipati melihat
wanita bercadar. Kalau kita bandingkan, jumlah wanita shalehah yang
berjilbab jauh lebih banyak dibandingkan wanita shalehah yang belum
berjilbab.
Pakaian memang bukan satu-satunya alat ukur untuk menentukan
kemuliaan akhlak seseorang. Muslimah yang pakaiannya sempurna belum
tentu akhlaknya baik, tetapi muslimah yang berakhlaq baik pasti akan
makin sempurna cara menutup auratnya. Makin sempurna cara akhwat menutup
aurat, makin tinggi peluang akhwat berakhlak baik. Sebaliknya, makin
tidak sempurna cara akhwat menutup auratnya, makin tinggi peluang akhwat
berakhlak buruk.
Jadi, kalau ada akhwat yang sudah berjilbab tetapi akhlaknya kurang
baik, maka solusinya adalah ia harus memperbaiki akhlaknya, bukan
berarti ia harus melepaskan atau mengurangi kesempurnaannya berhijab.
Sebaliknya, bila ada akhwat akhlaknya baik tetapi belum berjilbab, maka
ia tetap harus menyempurnakan hijabnya, karena meyempurnakan hijab
adalah kewajiban setiap muslimah.
Jadi, kiat untuk mengajak para muslimah berjilbab setidaknya adalah,
pertama, bijjak menyikapi kekurangan mereka. Kedua, sampaikan ilmu
kepada mereka. Ketiga, awali dari diri.
Wallahu‘alam bishawab
Sumber: KabarIslam