Satu waktu, sudah lama sekali…
seseorang berkata dengan wajah sendu
“alangkah beratnya…
alangkah banyak rintangan…
alangkah berbilang sandungan…
alangkah rumitnya.”
aku bertanya, “lalu?”
dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk
“apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”
"hanya karena itu kau menyerah kawan?"
aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dialaminya,
"yah… bagaimana lagi? tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa Allah tak meridhainya?"
aku membersamainya menghela nafas panjang,
lalu bertanya, “andai Muhammad berfikir sebagaimana engkau menalar, kan adakah Islam di muka bumi?”
"maksudmu akhi?", ia terbelalak
"ya. andai Muhammad berpikir bahwa banyak kesulitan berarti tak diridhai Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?"
ada banyak titik sepertimu saat ini,
saat Muhammad bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar…
mungkin saat dalam rukuknya ia dijerat di bagian leher,
mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta,
mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu,
mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir,
mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib,
mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata,
atau saat paman terkasih dan istri tersayang berpulang,
atau justru saat dunia ditawarkan padanya; tahta, harta, wanita…”
"jika Muhammad berpikir sebagaimana engkau menalar,
tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?”
"tapi Muhammad tahu, kawan…
ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya,
berat atau ringannya,
bahagia atau deritanya,
senyum atau lukanya,
tawa atau tangisnya”
"ridha Allah terletak pada apakah kita menaatiNya dalam menghadapi semua itu?
apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan?”
"maka selama di situ engkau berjalan,
bersemangatlah kawan…”
~Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah~
seseorang berkata dengan wajah sendu
“alangkah beratnya…
alangkah banyak rintangan…
alangkah berbilang sandungan…
alangkah rumitnya.”
aku bertanya, “lalu?”
dia menatapku dalam-dalam, lalu menunduk
“apakah sebaiknya kuhentikan saja ikhtiar ini?”
"hanya karena itu kau menyerah kawan?"
aku bertanya meski tak begitu yakin apakah aku sanggup menghadapi selaksa badai ujian dalam ikhtiar seperti dialaminya,
"yah… bagaimana lagi? tidakkah semua hadangan ini pertanda bahwa Allah tak meridhainya?"
aku membersamainya menghela nafas panjang,
lalu bertanya, “andai Muhammad berfikir sebagaimana engkau menalar, kan adakah Islam di muka bumi?”
"maksudmu akhi?", ia terbelalak
"ya. andai Muhammad berpikir bahwa banyak kesulitan berarti tak diridhai Allah, bukankah ia akan berhenti di awal-awal risalah?"
ada banyak titik sepertimu saat ini,
saat Muhammad bisa mempertimbangkan untuk menghentikan ikhtiar…
mungkin saat dalam rukuknya ia dijerat di bagian leher,
mungkin saat ia sujud lalu kepalanya disiram isi perut unta,
mungkin saat ia bangkit dari duduk lalu dahinya disambar batu,
mungkin saat ia dikatai gila, penyair, dukun, dan tukang sihir,
mungkin saat ia dan keluarga diboikot total di syi’b Abi Thalib,
mungkin saat ia saksikan sahabat-sahabatnya disiksa di depan mata,
atau saat paman terkasih dan istri tersayang berpulang,
atau justru saat dunia ditawarkan padanya; tahta, harta, wanita…”
"jika Muhammad berpikir sebagaimana engkau menalar,
tidakkah ia punya banyak saat untuk memilih berhenti?”
"tapi Muhammad tahu, kawan…
ridha Allah tak terletak pada sulit atau mudahnya,
berat atau ringannya,
bahagia atau deritanya,
senyum atau lukanya,
tawa atau tangisnya”
"ridha Allah terletak pada apakah kita menaatiNya dalam menghadapi semua itu?
apakah kita berjalan dengan menjaga perintah dan larangNya dalam semua keadaan dan ikhtiar yang kita lakukan?”
"maka selama di situ engkau berjalan,
bersemangatlah kawan…”
~Dalam Dekapan Ukhuwah, Salim A. Fillah~
No comments:
Post a Comment