Selamat membaca..
Semoga bermanfaat..
***
“Ki…
Tolongin mama sebentar dong.” Aku merungut sambil beringsut setengah
malas. Beginilah nasib jadi anak satu-satunya di rumah. Sejak bang Edo
kuliah di
Jakarta, akulah yang jadi tempat mama minta tolong. Biasanya bang
Edolah yang mengantar mama ke supermarket, ke pengajian, atau sekadar
membawakan tas mama yang pulang dari kantor. Rajin ya ?
Memang
begitulah abangku yang satu itu. Sedang aku ? Wuih, biasanya aku dengan
bandelnya menghindar. Tapi sekarang aku sudah tidak bisa lari lagi.
“Ki,
anterin mama ke rumahnya bu Dedi ya ? Ada arisan.” Aku hanya bisa
menghembuskan nafas panjang. Aduh, rasanya malas sekali harus
menghabiskan berjam-jam
bersama ibu-ibu. Belum lagi nanti ditodong pertanyaan, “Mana nih
calonnya? Kan kuliahnya sudah tingkat akhir…”. Risih saja ditanya
hal-hal semacam itu. “Mmm, ini Ma. Kiki mau belajar, nanti ujian.” “Yah,
Ki. Kan cuma sebentar. Paling dua jam…” “Soalnya bahannya
banyak banget, Ma. Nanti Kiki dapat nilai jelek lagi.” “Ya, sudah. Mama
pergi sendiri…”
Aku
menunduk sambil pergi. Rasanya tidak enak melihat sinar kecewa di mata
mama. Memang, sejak papa meninggal, mama makin sering minta ditemani ke
mana-mana.
Mungkin mama kesepian.Di hari kerja, mama disibukkan dengan urusan
kantornya. Sedang di akhir pekan, mama selalu minta ditemani
anak-anaknya. Kalau bang Edo sih anak manis. Dia mau saja menuruti
keinginan mama. Kalau aku dilarang pergi di akhir pekan, rasanya
seperti hukuman. Maklumlah aktivis. Kesempatan ada di rumah tidak
terlalu banyak.
Aku
masuk ke dalam kamarku dan mulai membuka buku. Sebetulnya aku tidak
bohong sih. Memang akan ada ujian. Tapi sebenarnya masih dua minggu
lagi. Jadi aku
tidak bohong kan? Aku berusaha berkonsentrasi memahami apa yang
tertulis di buku tebal itu. Entah kenapa pikiranku malah
melayang-layang. Dari jauh terdengar derum mobil mama menjauh dari
rumah. Ada perasaan bersalah yang menyelip di hatiku.
Akhir
pekan berikutnya, bang Edo pulang ke Bandung. Aku sih biasa-biasa saja.
Tapi, mama senang sekali. Semalam sebelumnya, mama memasakkan semua
masakan
kesukaan bang Edo. Ah, dasar anak kesayangan. Tapi aku tidak iri.
Biarkan saja. Setidaknya akhir pekan ini aku bebas berkeliaran. Tugas
jadi pendamping mama diambil alih bang Edo untuk minggu ini.
“Ki, kenapa sih kamu nggak mau nganterin mama ?”, tanya bang Edo sambil mencomot sebuah pisang goreng dari atas meja.
Aku hanya melirik sekilas dari komik yang sedang aku baca.
“Ya, biarin aja. Mama kan udah gede. Pergi sendiri kan juga bisa.”
“Masa kamu nggak kasian ? Mama tuh sedih banget lho sama kelakuan kamu.”
“Kata siapa ?”
“Mama sendiri yang bilang.”
“Kan bisa dianter supir. Masa abang nggak ngerti sih ? Urusanku kan banyakjuga.”
“Huu… Mana, cuma baca komik gitu !”
Aku
cuma bisa nyengir tersindir. Tak lama kemudian abang pergi bersama
mama. Kelihatannya mereka akan pergi ke resepsi pernikahan. Habis,
bajunya rapi sekali.
Tawaran untuk ikut seperti biasa aku tolak.
“Ki,
mama minta tolong dong…” Aku menyumpalkan tangan ke telinga. Aduh,
mama…. Belum sempat aku menjawab, mama sudah melongok ke dalam kamar.
Aku hanya bisa
meringis.
“Ki, tolong ambilin berkas kerja mama di bu Joko dong.”
“Lho, kok bisa ada di bu Joko, Ma ?”
“Iya,
tadi habis pulang dari kantor, mama mampir dulu ke sana. Kayaknya
berkas-berkas itu ketinggalan deh di sana. Soalnya di mobil udah nggak
ada. Bisa nggak
kamu ambilin ?”
Aku
melongo. Rasanya ingin teriak. Kali ini aku benar-benar sibuk !Besok
ada dua tugas yang harus dikumpulkan. Belum lagi sorenya adaujian akhir.
Mana sempat
mampir-mampir ke rumah orang ? Mana sudah malam begini…
“Aduh, Mama…. Kiki bener-bener sibuk… Besok ada ujian dantugas-tugas yang harus dikumpulin. Jadi…”
“Ya, udah kalo kamu nggak mau.”, balas mama dengan ketus.
Aku hanya bisa menghembuskan nafas dan kembali mengerjakan tugasku.
“…Kamu tuh memang nggak pernah kasihan sama Mama…”, bisik mama lirih dengan sedikit terisak.
Suara mama sedikit sumbang. Sepertinya mama sedang terkena flu. Aku menatap langit-langit dengan lesu.
Dengan lemas akhirnya aku memanggil mama.
“Iya deh Ma… Biar Kiki yang pergi…”
Gelap.
Gelap sekali. Apalagi banyak lampu jalanan yang sudah mati.Jalanan jadi
tidak jelas terlihat. Capek rasanya harus berusahamelihat. Itulah
sebabnya
aku tidak suka menyetir malam-malam.
Rumah
Bu Joko sebenarnya tidak jauh dari rumah kami. Tapi karena sudah malam,
palang-palang jalan di kompleks itu sudah diturunkan dan tidak ada
penjaganya.
Jadinya, aku harus mengambil jalan memutar yang letaknya cukup jauh.
Kalau tidak salah, satu-satunya palang yang tidak ditutup ketika malam
adalah… Ah, dari sini belok kiri.Astaghfirulllah… Ternyata ditutup juga…
Aku membaringkan kepalaku di atas kemudi. Rasanya
penat sekali. Entah, harus masuk ke kompleks ini lewat jalan yang mana.
Akhirnya kususuri perumahan itu jalan demi jalan. Semuanya terkunci.
Setelah setengah jam berputar-putar, barulah aku menemukan jalan
masuknya. Jalan itu begitu sempit. Jika ada dua mobil
berpapasan dari arah yang berlawanan, pastilah salah satunya harus
mengalah.
Rasanya
lega sekali ketika sampai di depan rumah bu Joko. Kutekanbelnya sekali,
tidak ada jawaban. Dua kali, tetap tidak ada jawaban.Tiga kali, empat
kali,
hasilnya tetap sama. Aku menunduk lesu.Jangan-jangan Mereka sudah
tidur… Hampir saja aku berbalik pulang.Tapi kata-kata mama terngiang di
kepalaku. “Tolong ya Ki… Soalnyaberkas-berkas itu mau mama pakai untuk
presentasi besok pagi.”Akhirnya dengan menelan
setumpuk rasa malu, kutekan lagi bel rumah mereka sambil mengucapkan
salam keras-keras.
Dari
belakang aku mendengar suara berdehem. Aduh, ada hansip. Akumenangguk
basa-basi. Aduh, mama ! Bikin malu saja ! “Oh, kertas apa ya ?”, tanya
bu Joko
dengan mata setengah mengantuk. Dasternya melambai-lambai kusut. Aku
jadi tidak enak sendiri menganggu malam-malam begini.Menit-menit
selanjutnya, kami berdua mencari-cari berkas yang dikatakan mama. Tidak
hanya di ruang tamu. Tapi juga di ruang tengah, ruang
makan dan dapur. Soalnya tadi mama juga mampir di tempat-tempat itu.
Ternyata tetap saja hasilnya nihil. Lalu aku menelepon ke rumah.
“Ma, berkasnya nggak ada tuh. Mama simpan di map warna apa ?”
“He..he…he…Udah ketemu, Ki. Ternyata sama bi Isah diturunin dari mobil terus ditaruh di meja makan.”
“Tau gitu kenapa nggak telpon Kiki ! Kiki kan bawa handphone !”
“Wah, maaf Ki… Mama nggak tahu kamu bawa handphone. Mama kira…”
“Ah,
udahlah ! Mama nyusahin Kiki aja !”Aku lantas membanting gagang telepon
dengan sedikit kejam. Aku berbalik dan menemukan bu Joko menatapku
dengan tatapan
ngeri. Aku memaksakan sebuah senyuman, minta maaf lalu pamit
secepatnya.
Setengah
ngebut aku memacu mobilku. Hujan rintik-rintik membuat ruang pandangku
semakin sempit. Nyaris jam dua belas malam. Hah, dua jam terbuang
percuma.
Kalau dipakai untuk mengerjakan tugas, mungkin sekarang sudah selesai…
Dasar mama …
Brakkk!!!
Tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras. Bunyinya seperti kaleng
yang robek. Sesaat aku merasa semuanya semakin gelap. Aku tidak bisa
lagi membedakan
mana atas dan bawah. Sekujur tubuhku seperti dihimpit dari berbagai
arah. Sejenak kesadaranku seperti lenyap.
Penduduk-penduduk
sekitar mulai berdatangan. Mereka membantuku keluar dari mobil yang
sepertinya ringsek parah. Mataku dibasahi sesuatu. Ketika kusentuh,
rasanya lengket. Ya Tuhan, darah… Tubuhku lebih gemetar karena takut
daripada karena sakit.
“Neng,
nggak apa-apa neng ?”, tanya seseorang. Aku berusaha berdiri walau
sempoyongan. Kucoba menggerakkan tangan, kaki, serta ngecek apakah
semuanya masih
ada. Kupejamkan mata dan berusaha mencari sumber sakit. Sepertinya
tubuhku baik-baik saja. Tidak ada yang patah.
Aku
menatap rongsokan mobilku dengan tidak percaya. Ternyata aku menabrak
sebuah truk besar yang sedang diparkir di pinggir jalan. Sumpah, aku
tidak melihatnya
sama sekali tadi !
“Neng,
nggak apa-apa ?”, ucap seseorang mengulangi pertanyaannya. Aku berusaha
menjawab. Tapi yang terasa malah sakit dan darah. Orang di hadapanku
lalu mengucap
istighfar. Barulah aku sadar apa yang menyebabkannya. Darah segar
berlomba mengucur dari mulutku. Lidahku… Aku langsung tak sadarkan diri.
Ketika
tersadar, aku sudah berada di rumah sakit. Rasa nyeri mengikuti dan
menghajarku tanpa ampun. Air mata menetes dari mataku… Ya Tuhan, sakit
sekali….
“Udah,
Ki. Jangan banyak bergerak. Dokter bilang kamu butuh banyakistirahat.”
Aku hanya bisa menatap mata mama yang sembab tanpa bisa menjawab sepatah
kata
pun. Hanya bisa mengeluarkan suara merintih yang menyedihkan. Mama ikut
menangis mendengarnya. Aku hanya bisa mengira-ngira. Dan dokter pun
membenarkannya. Kecelakaan itu tidak mencederaiku parah. Tidak ada
tulang yang patah, tidak ada luka dalam. Hanya satu,
lidahku nyaris putus karena tergigit olehku ketika tabrakan terjadi.
Akibatnya lidahku harus dijahit.
Sayangnya
tidak ada bius yang bisa meredakan sakitnya. Setelah itupun dokter
tidak yakin aku bisa berbicara selancar sebelumnya. Tangisku meluber
lagi. Yang
langsung teringat adalah setumpuk kata-kata dan perilaku kasar yang
selama ini kulontarkan pada mama. Ini betul-betul hukuman dari Tuhan
…Walau sepertinya hanya luka ringan, namun sakitnya teramat sangat.
Setiap kali jarum disisipkan dan benangnya ditarik,
sepertinya nyawaku dirobek dan dikoyak-koyak. Aku hanya bisa melolong
tanpa bisa melawan. Apa boleh buat. Kata dokter kalau lukanya di tempat
lain, sakitnya mungkin bisa diredam dengan bius. Tapi tidak bisa jika
lukanya di lidah.
Hari-hari
selanjutnya betul-betul siksaan. Lupakanlah tentang kuliah,tugas atau
ujian. Untuk minum saja aku tersiksa. Aku menjerit-jerittiap ada benda
yang
harus melewati mulutku. Agar tubuhku tidakkekurangan cairan, tubuhku
dipasangi infus. Aku hanya bisa menangis. Menangis karena sakit, dan
penyesalan. Selama aku dirawat, mamalah yang dengan telaten menungguiku.
Dengan sabar ia membantuku untuk apapun yang
aku perlukan.
Kami
hanya bisa berkomunikasi lewat sehelai kertas. Berkali-kali aku
tuliskan, “Mama, maafkan Kiki…” Mama juga sudah berkali-kali mengatakan
telah memaafkan
aku. Tapi tetap saja rasabersalah itu tak kunjung hilang. Ini
benar-benar peringatan keras dariTuhan. Aku benar-benar malu. Walau
aktif di kegiatan keagamaan,ternyata nilai-nilai itu belum benar-benar
mengalir dalam darahku. Aku tersenguk-senguk setiap ingat
bagaimana cara aku memperlakukan mama.
Bagaimana
mungkin aku merasa diberatkan dengan permintaannya padahal aku sudah
menyusahkannya seumur hidup? Tuhan, ampuni aku… Aku benar-benar telah
membelakangi
nuraniku sendiri…. Jangan biarkan aku mati sebagai anak durhaka….
Kukira penderitaanku berakhir jika sudah diizinkan pulang ke rumah.
Ternyata hukuman ini belum berakhir di situ. Bulan-bulan selanjutnya aku
harus berlatih mengucapkan kata-kata yang selama
ini mengalir mudah dari bibirku. Kembali lagi mama membimbingku belajar
bicara seperti yang ia lakukan ketika aku kecil.
No comments:
Post a Comment